Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
mempertanyakan apa yang dipersembahkan generasi penerus pada Hari Ulang
Tahun Ke-67 Kemerdekaan Indonesia dan Hari Kebangkitan Teknologi
Nasional Ke-17 dibanding dengan generas penerus pada masanya.
"Bukan hanya pesawat terbang N250 yang dipersembahkan, melainkan
juga menyerahkan kapal untuk 500 penumpang dengan kereta api cepat,"
kata Habibie dalam pidatonya berjudul "Reaktualisasi Peran Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa" pada
upacara Hakteknas Ke-17 di Bandung, Jumat.
Ia juga mempertanyakan bagaimana keadaan industri strategis yang
telah menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 tahun lalu dan
keadaan industri dirgantara dan industri penunjangnya saat ini.
Habibie menyatakan kecewa terhadap kemunduran teknologi di Indonesia.
Produk pesawat terbang, kapal laut, dan kereta api yang pernah
dirancang bangun telah dihentikan dalam euforia reformasi, bahkan dalam
proses penutupan.
"Segala investasi yang dilaksanakan pada perkembangan dan pendidikan
SDM yang terampil tanpa kita sadari telah dihancurkan secara sistematik
dan statusnya kembali seperti kemampuan bangsa Indonesia 60 tahun lalu,"
katanya.
Ia mencontohkan PT DI yang dahulu memiliki 16.000 karyawan, sekarang
tinggal 3.000 karyawan yang dalam 3--4 tahun mendatang akan pensiun
karena tak ada kaderisasi dalam segala tingkat.
Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang mengoordinasi 10
perusahaan pada tahun 1998 mempunyai kinerja turnover sekitar 10 miliar
dolar AS dengan 48.000 karyawan kemudian dibubarkan, ujarnya.
Industri dirgantara, kapal, kereta api, industri mesin,
elektronika-komunikasi, industri senjata, dan lainnya juga tidak dapat
lagi perhatian dan pembinaan, katanya menandaskan.
Dengan terpuruknya program pengembangan dalam negeri banyak insinyur
desain memilih ke luar negeri untuk bekerja di industri pesawat terbang
lain, ujarnya.
Tanpa program pengembangan, lanjut dia, PT DI tak dapat melakukan
regenerasi karyawan perekayasa yang pada gilirannya mengancam
kapabilitas dan kompetensi PT DI sebagai produsen pesawat. "Hal sama
juga dialami semua perusahaan yang dahulu dikoordinasi oleh BPIS,"
ujarnya.
Sarana pengembangan SDM di industri, di Puspiptek, di perguruan
tinggi, serta di pusat-pusat unggulan yang dikoordinasikan oleh
Kemristek dialihkan ke bidang lain atau dihentikan.
Dengan demikian, lanjut dia, teknologi untuk meningkatkan nilai
tambah yang dibutuhkan pasar domestik berhenti pembinaannya dan
diserahkan kepada SDM bangsa lain dengan membuka impor selebar-lebarnya.
Menurut Habibie, fakta tersebut sangat kontras dengan fakta sejarah
17 tahun lalu ketika pesawat canggih "fly by wire" N250 yang berada
sejajar dengan A-300 Airbus dan Boeing 777 bisa dipersembahkan kepada
bangsa Indonesia.
"Dan, ketika Sekjen ICAO Philippe Rochat didampingi Sekjen PBB
Boutros Boutros-Ghali memberi medali emas 'Edward Warner Award 50 Tahun
ICAO' kepada putra Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie," kata Habibie.
Bukankah kedua fakta sejarah dirgantara ini telah membuktikan bahwa
kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa,
Jepang dan Cina, tanyanya lagi.(Sumber:Republika)
No comments:
Post a Comment